Kampung Media Lengge Wawo, Sekretariat: Jalan Lintas Bima - Sape Km.17 Kompleks Lapangan Umum Desa Maria Utara Kecamatan Wawo Kabupaten Bima, Telepon: 0374-7000447. Bagi yang ingin mengirim Tulisan Berita atau Artikel hubungi Nomor HP: 081803884629/085338436666

Jumat, 13 Maret 2015

Lengge Filosofi hidup Bukan Simbolitas


KM. LENGGE WAWO,- Sebuah pepatah kuno mengatakan ‘’sebuah gua apabila memiliki pintu kayu,tidak lagi disebut gua tetapi sebuah rumah”,dari pepatah kuno diatas dapat kita simpulkan bahwa sebuah sejarah dan budaya apabila telah dimasuki tatanan dan kebiasaan baru,tidak bisa lagi kita sebut sejarah atau sebuah budaya. Sejarah menjadi cerita/dongeng, dan budaya menjadi simbolisme untuk menghibur.

Kecamatan Wawo adalah sebuah peradaban dan juga sebuah budaya hidup dengan berbagai “harta karun’’ yang memang harus tersimpan. Wawo oleh sebagian kalangan yang merasa diri ‘budayawan’ disimbolkan dengan uma lengge, dan memang menjadi kebanggaan masyarakatnya, sebuah bangunan sisa peradaban lama yang terus digunakan dengan berbagai keunikan dan cerita yang tumbuh bersamanya.

Uma lengge wawo bukanlah sebuah simbol, uma lengge adalah jiwa untuk masyarakatnya. Sebuah bangunan yang secara tersirat dan tersurat menjadi sebuah analogi untuk masyarakatnya, sebuah bangunan yang tidak tersentuh budaya dari luar baik secara fisik bangunannya maupun kebiasaan yang melekat di dalamnya. Sekitar tahun 2009 pernah terjadi renovasi besar besaran untuk uma lengge, uma lengge kehilangan jiwa, sebuah bangunan budaya asli wawo berubah menjadi sebuah bangunan berbentuk asing yang dibawa oleh perenovasinya. 

Berdasarkan kejadian itu akhirnya masyarakat dan para pegiat budaya wawo yang tidak ingin kehilangan identitas dan originalitasnya menyatakan bahwa Uma lengge tidak membutuhkan ahli ahli renovasi dari luar tapi membutuhkan pengayom dari dalam,bantuan bantuan untuk perbaikan yang sama sekali tidak berguna lengge, lengge tidak membutuhkan uang yang mengalir dari kantong yang satu ke kantung yang lainnya dan akhirnya yang ‘sampai’ hanya recehannya saja, uma lengge memiliki jiwa, yang melekat di masyarakat wawo, sejak kejadian itu akhirnya disepakati bahwa tiap tahunnya masyarakat mengadakan acara ‘kabua sama’, dimana para pemilik lengge dan masyarakat wawo saling bahu membahu untuk memperbaiki apabila sudah ada bangunan yang telah rusak (konteksnya adalah rusak yang sudah harus diperbaiki). Sehingga sangat bodoh, ketika sekelompok orang luar yang memang tidak tahu apa-apa, datang foto foto, duduk duduk dan dengan seenaknya menyatakan bahwa uma lengge butuh perbaikan, butuh bantuan rehab dan lainnya, sebuah hal yang lucu.

Originalitas uma lengge memiliki filosofi tersendiri bagi masyarakatnya untuk menjalani kehidupannya,  masyarakat wawo tetap mempertahankan originalitas budaya religiusnya, budaya keseniannya dan budaya ’ hau ade’ nya, dimanapun mereka berpijak, disini kita tidak akan menjumpai kejadian kejadian yang dibawa pengaruh luar, pemuda pemuda lengge terbebas dari pengaruh negatif, konflik horizontal, pencurian, perampokan, obat obatan, dan hal semacamnya akan terdengar aneh di kecamatan wawo, sehingga wajar apabila wawo menyandang nama ‘WAWO’ dan mendapat penghargaan sebagai salah satu dari tiga daerah teraman se indonesia.

Dalam hal budaya seni, budaya seni kecamatan wawo tetap terjaga, ntumbu,sagele,mpaa manca,kereku kandei dan berbagai budaya lainnya tetap asli, tetap asli karena budaya wawo adalah budaya yang melekat dijiwa masyarakatnya, bukan budaya yang dibuat dan dilatih otodidak ketika menghadapi lomba dan acara acara resmi atau kedatangan tamu penting, ketika acara khitan dan semacamnya mpaa manca akan di adakan beberapa hari tampa jeda,ketika masyarakat wawo akan mengadakan acara adat, kareku kandei adalah salah satu bentuk ‘undangan’ untuk warga lainnya, begitupun juga dengan ntumbu,bukan budaya otodidak yang dilatih ketika mendapat bantuan ini dan itu. Regenerasi budaya juga tidak dikesampingkan, Wawo memiliki wadah berkesenian yang akan tetap meregenerasi budaya seni wawo untuk generasi selanjutnya, sanggar Doro ntori dengan ntumbunya, sanggar Pajuri dan sanggar Oi Wobo meregenerasi mpaa manca,buju kadanda, mpaa silu dan gendanya. Tetap eksis dalam kesederhanaan.

Menikmati sebuah tarian buatan baru, dengan berbagai gerakan yang yang mencatut dan mencampur baurkan gerakan asli dengan gerakan tari dansa salsa atau waltz yang justru menghilangkan identitas aslinya, atau menikmati suara kareku kandei yang dilatih otodidak ketika menghadapi sebuah event, sehingga tidak heran suara yang dikeluarkan oleh kandei lebih mirip suara drum drum modern. Apakah ini yang anda sebut budaya??

KM. LENGGE WAWO.

0 komentar:

Posting Komentar