“PERAHU TERDAMPAR DALAM SEBUAH LEGENDA”
KM, LENGGE WAWO,- Cerita Secara turun-temurun tentang asal-usul kedatangan penduduk baru yang berasal dari sulawesi ke Pulau Sumbawa, khususnya orang Maria yang diperkirakan pada abad XIV. Mereka berasal dari wawo yang sekarang terletak di Kabupaten Kolaka di Propinsi Sulawesi Tenggara dengan menggunakan perahu sebagai alat transportasi antar pulau.
Akibat sering terjadinya permusuhan dengan suku Tolaki yang mayoritas di daerah itu, masyarakat minoritas Wawo banyak yang bertekad untuk mencari daerah atau pulau baru yang lebih aman dari permusuhan antar suku. Dengan menggunakan beberapa buah perahu layar mereka mulai meninggalkan daerah asalnya, dari teluk Bone melewati beberapa pulau-pulau kecil, sampailah mereka di Pulau Sumbawa (Sumba Awa) artinya sumba Barat.
Beberapa buah perahu telah berhasil mendarat di Sape, tetapi sebuah Perahu yang paling besar terdampar dekat pantai “Pai” dan tidak dapat lagi meneruskan perjalanannya bersama perahu-perahu lainnya. Perahu itu terdampar kira-kira 200 meter dari pantai, seluruh penumpang meninggalkan perahunya dan naik ke daratan hingga bermukim. Pemukiman mereka ini diberi nama “Pai” yang berasal dari kata “Paisi” tujuan pelabuhan Sape dan kata Sape ini berarti “Sampai (Sampe)”.
Konon perahu yang terdampar itu sampai sekarang masih ada tetapi sudah merupakan sebuah pulau kecil yang dikelilingi oleh batu karang, diatas pulau itu tumbuh pohon kamboja. Masyarakat menamakan pulau itu dengan pulau Kapal (Nisa Kapal).
Perkampungan di Pai mulanya dari gubuk-gubuk disekitar pantai, masyarakatnya tidak dapat bertahan lama untuk bermukim disana, karena kesulitan air sebagai kebutuhan serta lahan disekitarnya tidak cocok untuk daerah pertanian, hanya terbentang padang rumput yang luas.
Selanjutnya mereka menuju ke pedalaman dan menetap di sisi kiri dan kanan sungai Pai dimana persediaan airnya sangat banyak untuk kegiatan pertanian seperti bercocok tanam, berladang dan bekebun, masing-masing lahan pertaniannya didirikan pondok-pondok sekaligus dijadikan sebagai tempat tinggal tetap.
Perladangan mereka makin lama semakin jauh dari perkampungannya sehingga sampai ke bukit-bukit sebelah timur gunung Maria dan sekitarnya. Sebagian para peladang memutuskan untuk mendirikan perkampungan baru di Wosu dan Daru. Hanya sedikit saja yang masih tetap bertahan untuk tinggal di Pai.
Masyarakat Wosu dan Daru pada masa itu sudah terbilang maju di bidang kerajinan emas, perak dan besi yang berpusat di Oi Sampai, dan sekarang masih banyak terdapat berkas-berkas peninggalannya, seperti pecahan-pecahan keramik, palu serta benda-benda cagar budaya yaitu Masjid Batu tempat tinggal pemimpin spiritual Rato Ara Pundu ro Nence dan Perahu Batu (Wadu lopi).
Masjid Batu yang dibangun oleh Rato Ara pada masa Pra Islam diklaim sebagai masjid pertama di Bima, karena pada waktu itu kerajaan Bima masih percaya kepada Roh leluhur (Marafu, mamboro) sehingga orang-orang yang telah berfaham/menganut agama Islam hidup terpencil dan Ompu Ma Iman mendirikan sebuah benteng batu di Kuta untuk menjaga kemungkinan ada serangan dari luar.
Rato Ara setelah meninggal dikuburkan di sebelah Barat gunung Maria (Rade Guru Ara Ededu Ese Ara ro Fihi). Beliau meninggalkan 4 orang anak (La Rangga, La Goa, La Kakapi dan La Maria).
Keturunan Rato ara menjadi sesepuh pada perkampungan disekitarnya seperti:
La Rangga yang memimpin masyarakat Pai
La Goa sebagai sesepuh di Buncu Pondo
La Kakapi yang memimpin masyarakat Buncu Pataha dan,
La Maria yang memimpin masyarakat Wosu ro Daru.
La Maria menghimbau masyarakat Wosu dan Daru agar perkampungannya di pindahkan ke lokasi lain sebelah barat gunung Maria, maka terjadilah perpindahan sambil mencari lokasi yang benar-benar bagus untuk mendirikan perkampungan baru, awalnya pemukiman sementara adalah di Tuta Sungga, kemudian berbondong-bondong menuju Rangga Bolohawo tetapi karena disana tidak cocok untuk dijadikan sebagai sebuah perkampungan maka mereka meneruskan perjalanan ke arah Barat yang letaknya agak lebih rendah dari perbukitan.
Dalam perjalanan ini La Maria diiringi oleh seluruh masyarakatnya sambil memeluk seekor ayam jantan berbulu putih sebagai hewan kesayangannya. Lalu sampailah mereka pada sebuah bukit kecil, dan tiba-tiba ayamnya berkokok keras. La Maria pun berkata “disini lokasi yang tepat untuk mendirikan perkampungan tetap” .
Perkampungan baru itu diberi nama “Wawo” sesuai dengan nama daerah asalnya di Sulawesi dan La Maria diangkat menjadi pemimpin (Ncuhi), artinya orang yang dituruti perintah/perkataannya dan yang melindungi masyarakat. Setelah meninggal, Ncuhi La Maria dikuburkan di atas bukit, dan sampai sekarang tempat itu menjadi Situs Cagar Budaya.
Setelah Ncuhi La Maria meninggal nama Wawo semakin hilang, oleh orang-orang di luar Wawo menyebutnya ”Dou Maria”, Orang-orang warga dari Ncuhi La Maria akhirnya disebut perkampungan Maria., namun syukurlah nama wawo diambil menjadi nama sebuah Kecamatan (Kejenelian)
Beberapa buah perahu telah berhasil mendarat di Sape, tetapi sebuah Perahu yang paling besar terdampar dekat pantai “Pai” dan tidak dapat lagi meneruskan perjalanannya bersama perahu-perahu lainnya. Perahu itu terdampar kira-kira 200 meter dari pantai, seluruh penumpang meninggalkan perahunya dan naik ke daratan hingga bermukim. Pemukiman mereka ini diberi nama “Pai” yang berasal dari kata “Paisi” tujuan pelabuhan Sape dan kata Sape ini berarti “Sampai (Sampe)”.
Konon perahu yang terdampar itu sampai sekarang masih ada tetapi sudah merupakan sebuah pulau kecil yang dikelilingi oleh batu karang, diatas pulau itu tumbuh pohon kamboja. Masyarakat menamakan pulau itu dengan pulau Kapal (Nisa Kapal).
Perkampungan di Pai mulanya dari gubuk-gubuk disekitar pantai, masyarakatnya tidak dapat bertahan lama untuk bermukim disana, karena kesulitan air sebagai kebutuhan serta lahan disekitarnya tidak cocok untuk daerah pertanian, hanya terbentang padang rumput yang luas.
Selanjutnya mereka menuju ke pedalaman dan menetap di sisi kiri dan kanan sungai Pai dimana persediaan airnya sangat banyak untuk kegiatan pertanian seperti bercocok tanam, berladang dan bekebun, masing-masing lahan pertaniannya didirikan pondok-pondok sekaligus dijadikan sebagai tempat tinggal tetap.
Perladangan mereka makin lama semakin jauh dari perkampungannya sehingga sampai ke bukit-bukit sebelah timur gunung Maria dan sekitarnya. Sebagian para peladang memutuskan untuk mendirikan perkampungan baru di Wosu dan Daru. Hanya sedikit saja yang masih tetap bertahan untuk tinggal di Pai.
Masyarakat Wosu dan Daru pada masa itu sudah terbilang maju di bidang kerajinan emas, perak dan besi yang berpusat di Oi Sampai, dan sekarang masih banyak terdapat berkas-berkas peninggalannya, seperti pecahan-pecahan keramik, palu serta benda-benda cagar budaya yaitu Masjid Batu tempat tinggal pemimpin spiritual Rato Ara Pundu ro Nence dan Perahu Batu (Wadu lopi).
Masjid Batu yang dibangun oleh Rato Ara pada masa Pra Islam diklaim sebagai masjid pertama di Bima, karena pada waktu itu kerajaan Bima masih percaya kepada Roh leluhur (Marafu, mamboro) sehingga orang-orang yang telah berfaham/menganut agama Islam hidup terpencil dan Ompu Ma Iman mendirikan sebuah benteng batu di Kuta untuk menjaga kemungkinan ada serangan dari luar.
Rato Ara setelah meninggal dikuburkan di sebelah Barat gunung Maria (Rade Guru Ara Ededu Ese Ara ro Fihi). Beliau meninggalkan 4 orang anak (La Rangga, La Goa, La Kakapi dan La Maria).
Keturunan Rato ara menjadi sesepuh pada perkampungan disekitarnya seperti:
La Rangga yang memimpin masyarakat Pai
La Goa sebagai sesepuh di Buncu Pondo
La Kakapi yang memimpin masyarakat Buncu Pataha dan,
La Maria yang memimpin masyarakat Wosu ro Daru.
La Maria menghimbau masyarakat Wosu dan Daru agar perkampungannya di pindahkan ke lokasi lain sebelah barat gunung Maria, maka terjadilah perpindahan sambil mencari lokasi yang benar-benar bagus untuk mendirikan perkampungan baru, awalnya pemukiman sementara adalah di Tuta Sungga, kemudian berbondong-bondong menuju Rangga Bolohawo tetapi karena disana tidak cocok untuk dijadikan sebagai sebuah perkampungan maka mereka meneruskan perjalanan ke arah Barat yang letaknya agak lebih rendah dari perbukitan.
Dalam perjalanan ini La Maria diiringi oleh seluruh masyarakatnya sambil memeluk seekor ayam jantan berbulu putih sebagai hewan kesayangannya. Lalu sampailah mereka pada sebuah bukit kecil, dan tiba-tiba ayamnya berkokok keras. La Maria pun berkata “disini lokasi yang tepat untuk mendirikan perkampungan tetap” .
Perkampungan baru itu diberi nama “Wawo” sesuai dengan nama daerah asalnya di Sulawesi dan La Maria diangkat menjadi pemimpin (Ncuhi), artinya orang yang dituruti perintah/perkataannya dan yang melindungi masyarakat. Setelah meninggal, Ncuhi La Maria dikuburkan di atas bukit, dan sampai sekarang tempat itu menjadi Situs Cagar Budaya.
Setelah Ncuhi La Maria meninggal nama Wawo semakin hilang, oleh orang-orang di luar Wawo menyebutnya ”Dou Maria”, Orang-orang warga dari Ncuhi La Maria akhirnya disebut perkampungan Maria., namun syukurlah nama wawo diambil menjadi nama sebuah Kecamatan (Kejenelian)
0 komentar:
Posting Komentar