KM LENGGE,- Pembuatan tikar pandan sejak dahulu telah dikenal di Kabupaten Bima, bahkan pernah menjadi mata pencaharian yang penting bagi penduduk setempat, bahkan tidak heran dulu apabila para perantau pulang ke bima dan sekembalinya ke daerah rantauan pasti akan membawa oleh - oleh tikar pandan untuk teman dan kerabat disana.
Ada beberapa daerah penghasil tikar pandan di kabupaten bima, beberapa di antaranya adalah beberapa desa dikecamatan Sape, desa Tarlawi di kecamatan Wawo, Kecamatan Parado dan beberapa daerah lainnya.
Namun seiring dengan perkembangan jaman produksi tikar pandan mengalami kemerosotan yang sangat tajam, selain karena sebagian besar masyarakat menggunakan tikar plastik dan wol (permadani) juga dikarenakan tanaman pandan sebagai bahan utama sulit didapat.
Kini, pembuatan tikar pandan Bima bukan lagi menjadi mata pencaharian yang penting. Pembuatan tikar hanya sebagai pengisi waktu bagi kaum wanita usia lanjut. Dan pembuatan tikar ini pun hanya dapat ditemukan di beberapa desa tertentu saja. Selain itu,penanaman pohon pandan sebagai bahan baku tikar pandan sudah tidak dilakukan lagi dan boleh dikatakan semakin langka. Untuk mendapatkan daun pandan, penduduk harus mencari ke hutan.Proses pekerjaan menganyam tikar pandan ini sangat memerlukan banyak waktu. Untuk membuat satu tikar bisa memakan waktu 5 hingga 6 hari. Daun pandan yang baru di petik dibelah-belah menjadi ukuran tertentu. Kemudian, daun yang telah dibelah harus dikais terlebih dahulu agar menjadi lemas dengan menggunakan alat khusus. Setelah selesai, daun pun segera direbus hingga beberapa jam lalu direndam dengan air dingin selama satu hari. Proses selanjutnya daun pandan harus dijemur di bawah terik matahari hingga mengering. Terakhir,barulah penganyaman bisa lakukan.
Ditengah tergerusnya tikar pandan dan semakin rendahnya animo masyarakat menggunakan tikar ini, seorang ibu di dusun Kawae, desa Maria Utara Kecamatan Wawo, ina Ba,u (75) tetap bertahan dengan mengayam tikar pandan sebagai mata pencarian sehari harinya.
Ina Ba,u adalah satu dari beberapa ibu ibu di dusun kawae yang bermata pencarian sebagai pengayam tikar, mereka mengayam tikar untuk membantu penghasilan suaminya yang bertani.
Berdasarkan penuturan ina Ba,u kebanyakan peminat tikar pandan yang dianyamnya adalah para pejabat dari kota dan pemudik luar daerah, mereka membeli tikar pandan sebagai cinderamata dan oleh oleh ketika kembali ke daerah rantauan.
Ina Ba,u dalam seminggunya memproduksi satu sampai tiga tikar, harga tikar pandan cukup bervariasi tergantung dengan panjang dan lebarnya mulai dari Rp.50 000-Rp100.000/unitnya.
"Anak gadis di jaman modren sekarang tidak pandai lagi menganyam. Apa lagi bahan untuk pewarna sangat sulit didapatkan di pasar, batang pandan banyak dibabat menyebabkan bahan baku mulai berkurang", tutur ina Ba,u yang kami temui di kediamannya.
“Berkurangnya tenaga pengayam juga menyebabkan tikar yang dibuat hanya satu unit selama sepekan,’’ tambahnya.
Untuk menyikapi kondisi tersebut, dirinya berharap pemerintah dapat mencari solusi agar tikar asli asal daerah itu tidak punah. Mungkin, salah satu cara menangani minimnya hasil produk lokal berupa tikar pandan yakni dengan meminjamkan dana untuk digunakan selama proses pembuatan dan menjamin ketersediaan bahan pewarna atau bahkan mengadakan semacam pelatihan mengayam tikar pandan (galank).
0 komentar:
Posting Komentar