KM. LENGGE WAWO,- Masyarakat Wawo tinggal di daerah dataran tinggi atau daerah pegunungan dengan hawa dan suhu uadara cukup dingin serta sedikit sekali mendapat hawa laut. Mereka hidup dari usaha bercocok tanam di sawah dan kebun dengan menanam berbagai jenis padi, jagung dan umbi-umbian.
Watak
khas dari mayarakat Wawo memancarkan kesetiaan kepada atasan dan tidak
terpancing oleh isu-isu negatif, peramah dan lemah lembut serta tidak
menyukai pemimpin yang banyak bicara.
Pada
sekitar 400 tahun yang lalu masyarakat Wawo pernah dipimpin oleh
seorang bernama La Maria yang dikenal dengan Ncuhi Maria. Maka
dari itulah watak khas masyarakat Wawo kelihatan halus perasaannya dan
kalau sudah melihat pimpinannya berlaku curangmaka selamanya tidak akan
percaya. Sifat tidak percaya ini sulit dipulihkan kembali.
Bila
suatu masalah menimpa seorang individu atau kelompok, masyarakat Wawo
penuh kehati-hatian baru dapat bertindak. Pertama dikaitkan dahulu
dengan norma dan peraturan yang berlaku. Kedua meneliti apakah
permasalahn tersebut benar atau tidak. Hal ini karena masyarakat Wawo
masih tebal sekali sifat turun-temurun sejak masa nenek moyang bahwa
hakikat hidup itu, hidup di dunia ang fana ini mereka anggap untuk
mencari bekal yang baik, karena mereka menganggap masih adanya kehidupan
lagi di kemudian hari.
Sebagai
alat yang mapuh bagi mereka adalah hidup dengan pedoman “MAJA LABO
DAHU”. Maja berarti malu, labo berarti dan, sedangkan dahu berarti
takut. Pengertian hidup dengan Maja Labo Dahu ini adalah malu untuk
melakukan perbuatan-prbuatan yang dapat mempermalukan diri atau
perbuatan yang melanggar norma hukum yang adat ataupun hukum yang
berlaku sekarang. Kemudian takut artinya takut kepada Allah apabila
melakukan perbuatan yang salah karena setiap perbuatan salah selalu
mendapat ganjaran baik oleh Allah maupun oleh peraturan yang berlaku di
lingkungan hidup mereka.
Dengan
tebal dan melekatnya pandangan hidup Maja Labo Dahu ini maka di Wawo
tidak pernah ada peristiwa pencurian. Bila ada pencurian atau pengacau
baik dari dalam maupun dari luar Kecamatan Wawo, maka akan dihukum
secara beramai-ramai dan diarak keliling desa.
Upacara Adat
1. Upacara Perkawinan
Tata cara pernikahan yang biasa dilakukan oleh orang Wawo ada tiga macam, yaitu :
a. Perkawinan Resepsi (Nika Dende)
Pemuda
dan pemudi yang dikawinkan secara resepsi adalah mereka yang mengikuti
nasehat orang tuanya. Tentang siapa calon jodohnya harus diketahui orang
tua kedua belah pihak. Perkawinan semacam ini harus didahului oleh
permufakatan yang cukup rapi dan terencana yang dalam bahasa Bima
disebut panati. Setelah acara panati diikuti oleh acara antar mahar ke
rumah calon pengantin perempuan. Tiga hari setelah acara antar mahar
baru dilaksanakan acara akad nikah.
Pada
saat acara akad nikah ini terlebih dahulu bapak calon mempelai
laki-laki melemparkan pantun kepada ibu calon mempelai wanita (Ina Ru’u
na). Setelah itu akan dilakukan nenggu, atau istilahnya cepe
jungge/compo jungge (compo = menyisipkan, jungge = bunga yang disisipkan
pada rambut/sanggul) yang dilakukan oleh mempelai laki-laki ke mempelai
wanita. Pada saat penancapan jungge oleh mempelai laki-laki, mempelai
wanita berpura-pura menolak dan membuang bunga tadi dengan malu-malu.
Cepe
jungge dilakukan di atas rumah baru (Ruka Bou) dan dilakukan pada malam
hari. Cempe jungge hanya dapat dilakukan oleh mempelai laki-laki dan
wanita yang belum pernah berhubungan bicaraantara satu dengan lainnya.
Apalagi berbuat yang tidak sesuai dengan norma hukum yang berlaku,
seperti berciuman atau berhubungan sex sebelumnya.
b. Perkawinan Selarian
Pemuda
dan pemudi yang melakukan perkawinan selarian (Londo Iha) adalah mereka
yang tidak mau menanti kesepakatan orang tua kedua belah pihak. Atau
mereka yang sengaja mengambil jalan pintas karena ingin merebut tunangan
orang lain atau salah satu calon mempelai tidak disetujui oleh salah
satu orang tua dari kedua belah pihak. Acara perkawinan ini dilakukan
sesederhana mungkin. Malah ada beberapa anggota keluarga dari salah satu
kedua belah pihak mempelai tidaak datang menghadiri pernikahan
tersebut.
c. Perkawinan Darurat
Pemuda
dan pemudi yang menjalani perkawinan darurat ini adalah mereka yang
telah berbuat atau berhubungan sex terlebih dahulu sehingga sebelum akad
nikah sudah hamil beberapa bulan. Pelaksanaan acaranya hanya dilakukan
oleh Asbah (saudara laki-laki) dari pihak perempuan dan orang tua dari
pihak laki-laki. Hal ini dilakukan karena perbuatan mereka merupakan
perbuatan tidak terpuji.
2. Upacara Do’a Aqikah
Acara
do;a Aqikah dilakukan pada umur ketujuh hari atau paling lambat umur ke
delapan hari dari bayi. Aqikah dilaksanakan untuk memenuhi sunah
Rasulullah SAW. Persyaratan melakukan aqikah adalah dua ekor kambing
jantan bagi bayi laki-laki dan satu ekor kambing bagi bayi perempuan.
Tujuannya sebagai penunjukkan rasa syukur kita kepada Tuhan YME karena
telah mendapat anugerah putra atau putri kita dilahirkan dengans selamat
dan semoga sehat serta panjang umur. Pada acara ini akan dibacakan
kitab Barjanji dan Zikir Marhaban.
3. Upacara Sunatan (Ndoso Ro Suna)
Acara khitanan dilakukan dengan susunan acara sebagai berikut :
- Musyawarah pemberitahuan keluarga dan musyawarah pembentukan panitia pelaksana (Ompu Parenta)
- Mendirikan paruga dan pengedaran undangan (ngoa dou)
- Acara Zikir Kapanca di malam hari yang diikuti dengan acara Rebo (joget). Pada saat ini juga ada acara Compo Sampari (penyisipan keris pada sarung atau celana yang dikenakan oleh anak laki-laki)
- Esok hari mulai jam 08.00 pagi sampai jam 13.00 siang dilakukan acara Teka Ro Ne’e yaitu suatu acara dimana para tetangga dan keluarga mendatangi rumah yang melakukan hajatan untuk menyerahkan bahan makanan seadanya dan semampunya. Tuan rumah membalasnya dengan mengajak makan dan minum seadanya serta mengobrol dengan tamu-tamu tersebut. Pada acara ini disertai dengan kesenian berupa permainan Manca dan Buja Kadanda.
- Jam 14.00 sampai dengan jam 15.00 acara Rumbe dan Khatam Alqur’an yang kemudian diakhiri dengan Do’a.
- Sunatan (ndoso untuk anak perempuan dan suna untuk anak laki-laki) lalu dilanjutkan dengan acara istirahat.
- Setelah istirahat, salaman dan bubaran. Pada saat ini di luar paruga diadakan acara terakhir yaitu maka tua dengan tujuan pemberian semangat kepada anak-anak yang baru saja disunat, agar dapat mengurangi sakit. Pada acara ini disertai dengan kesenian Silu dan Gendang, yang dikenal dengan dudu baku.
4. Upacara Do’a Jama’
Do’a
Jama’ bertujuan utnuk memintakan selamat dari siksa kubur dan semoga
orang tua, nenek, kakek, dari yang berhajat agar selamat sentosa,
terlepas dari dosa-dosanya. Upacara ini biasanya dilakukan oleh anak
yang baru datang dari rantau dan berhasil dalam usahanya.
Upacara Lain
- Upacara Takbir Akbar pada Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha.
- Upacara Mbolo Rasa, yang dilakukan sekali setahun dan dihadirioleh semua warga desa. Namun sekarang telah diberi nama Pekan Orientasi LMD. Pelaksanaannya pada setiap awal tahun. Tujuannya untuk menentukan kebijaksanaan Pembangunan desa pada tahun yang berjalan.
- Upacara Peringatan hari Isra’ Mi’raj Nabi Besar Muhammad SAW dan upacara Maulid Nabi Muhammad SAW.
Kesenian Tradisional Yang Masih Hidup
1. Seni Suara (rawa)
Seni suara yang berkembang di Kecamatan Wawo :
a. Rawa Mbojo
Rawa Mbojo dilakukan pada setiap acara perkawinan, acara tanam padi, dan pada acara panen hasil. Alat musiknya biola
b. Rawa Bela Leha
Bela Leha biasa dinyanyikan oleh masyarakat Wawo yang ada di Desa Tarlawi, Kuta, Teta, Sambori, Kawuwu. Ada dua jenis Bela Leha.
- Bela Leha untuk acara-acara biasa seperti : perkawinan, acara tanam padi, atau acara panen padi
- Bela Leha untuk acara-acara penerimaan tamu-tamu besar seperti kehadiran Sangaji (Raja) atau tamu sejenisnya. Bela Leha adalah sebuah lagu sanjungan kepada Raja La Kai, semasa beliau menyembunyikan diri di Gunung Lambitu saat dikejar oleh Raja Salisi.
c. Rawa Sagele (sagele = tanam)
Sagele
berarti menggali atau menanam secara serentak yang dilakukan oleh kaum
perempuan. Sagele adalah kesenian tradisional Desa Maria sejak dahulu
kala sampai sekarang. Alat musik rawa Sagele hanya mempergunakan Silu.
Rawa Sagele mempunyai 27 lagu dengan waktu pelaksanaan yang
berbeda-beda.
- Cana, Arugele, Gele Ro, Gele Me’e Mali, Gele Me’e Mali Kiro dan Ka’e Rombo. Keenam lagu ini dinyanyikan mulai pagi sampai jam 10.00
- Saja, Danci, E Aule, Ka’e Ina Mina, Mada Tanga, Janga Jao, dan Maula. Dinyanyikan dari jam 10.00 sampai jam 12.00
- Lele Janga, Haju Jati, Jalate, Malanta, La Kima, Jara Nggero, dan Ka’e Lela. Dinyanyikan pada jam 13.00 sampai 15.00
- Saja Mpana, Lao Lopi, Dalia, Ka’e Gondo, Lele Anggo. Dinyanyikan pada jam 16.00 sampai 17.00. lagu-lagu ini sebagai pertanda bahwa sekarang sudah sore hari dan bagi si pemilik kebun atau sawah agar dapat mempersiapkan segala perlengkapan yang akan dibawa pulang. Kemudian bagi si pemuda agar siap-siap untuk membawa tembilang daari kaum pemudi.
d. Rawa Olo
Rawa
Olo dikembangkan oleh masyarakat Wawo yang berada di Desa Rupe dan
Karumbu. Pantun (patu) nya sama dengan patu Rawa Mbojo. Letak
perbedaannya ada pada isi lagu.
e. Rawa Qasidah Rebana
Adalah lagu yang bernafaskan Islam diiringi oleh alat musik rebana. Lagu ini memasyarakat di seluruh desa di Kecamatan Wawo.
f. Zikir
Beberapa zikir yang ada :
- Zikir Kapanca; zikir ini dipergunakan pada acara khitanan anak-anak dan dilakukan pada malam hari. Alat yang digunakan buku Barjanji.
- Zikir Tua; zikir ini menggunakan buku Barjanji dan rebana. Perbedaan Zikir Kapanca dan Zikir Tua terletak pada lagu.
- Zikir Tua dilakukan pada waktu mengantar anak-anak yang Khatam Qur’an atau dapat juga pada waktu mengantar pengantin laki-laki menuju rumah pengantin wanita
- Kalamu; Kalamu adalah salah satu seni keagamaan, sebagai penghibur setelah lelah membaca Tadarus, atau sebagai aba-aba atau pertanda segera istirahat. Isinya berupa sanjak-sanjak Arab.
- Hadrah; Hadrah adalah seni suara yang dipadukan dengan Seni Tari. Alatnya berupa rebana dan buku Barjanji. Namun lagunya berlainan dengan Zikir Kapanca. Hadrah dilakukan pada acara perkawinan, Khitanan, dan Khataman Al Qur’an.
2. Seni Tari
Seni tari yang menonjol di Kecamatan Wawo adalah :
- Tari Sagele
- Tari Lepi Wei
- Tari Lebo
- Tari Bango
- Tari (permainan) Manca
- Tari (permainan) Buja Kadanda
- Tari (permainan) Ntumbu
Tari
Sagele, Tari Lepi Wei, Tari Rebo, dan permainan Manca, Buja Kadanda,
Ntumbu, berkembang di Desa Maria dan Ntori. Tari Kalero berkembang di
Desa Tarlawi, Sambori, Kuta, dan teta. Sedangkan Tari Bango hanya
berkembang di desa Waworada.
Alat-alat untuk melaksanakan tarian dan permainan tersebut adalah : gendang, silu dan rumba, serta katongga jawa.
3. Kerajinan
Kerajinan yang ada di Kecamatan Wawo adalah seni membentuk permata cincin. Kelompok ini ada di Desa Maria.
Dari beberapa narasumber. (galank)
0 komentar:
Posting Komentar