KM LENGGE WAWO,- Ala maak, bocah kecil di kampung berani nantangin banjir. Orang tua kok cuek aja. Apa mereka tidak kuatir jika anaknya terseret banjir hingga ditemukan tewas mengenaskan? Sepintas kita yang menyaksikan ulah anak kampung yang ceria bermandi ria saat banjir pasti deg-degan. Namun, bagi orang tua di sana sudah terbiasa dengan kondisi seperti itu.
Mungkin ini pembelajaran agar anak mendapatkan ilmu alam, bersenda gurau dengan banjir. Karena kelak anak-anak mereka diharapkan kuat dan mampu mengarungi hidup dalam berbagai ragam banjir besar kehidupan ini.
Maka tidak salah jika orang berkata bahwa dunia anak adalah dunia bermain, dunia yang penuh spontanitas dan menyenangkan. Berani mencoba-coba sesuatu meski berisiko meregang nyawa. Maka bukanlah sifat dasar anak-anak jika tidak suka bermain dengan teman-temannya dan bermanja-manja dengan alam sekitarnya.
Maka tidak pelak, jika banyak peristiwa tragis menimpa anak-anak dan bocah kecil karena mereka suka berbuat nekat menantang maut, seperti bermandi ria saat banjir tiba. Mereka berani terjun di tengah arus deras banjir pada musim hujan, kemudian menghilang dan ditemukan tewas mengenaskan. Kalau kejadian seperti itu, orang tua hanya bisa mengelus dada, tak kuasa menahan sedih karena anak kesayangannya tewas terseret banjir.
Saya punya kenangan pahit masa kecil yang sulit dilupakan. Masa kecil yang ceria, indah, menyenangkan, sekaligus gagah berani menghadapi risiko. Bayangkan, saat bersama teman-teman sebaya seusia 10-13 tahun SD/SMP berani menantang banjir, menyebrang dan suka merakit batang pisang dengan menusukan tiga hingga empat ranting kayu pada beberapa batang pisang untuk dijadikan perahu.
Perahu rakitan itu dapat dinaiki dua hingga tiga orang dan siap menantang terjangan arus banjir. Layaknya, seperti penggiat olahraga arum jeram. Biasanya bocah kecil memilih bermandi ria saat banjir tidak terlalu besar dan juga tidak terlalu kecil, tetapi cukup menantang.
Saya dan dua teman masing-masing bernama, Hamid dan Syarif, menumpangi perahu yang terakit dari batang pisang, menikmati gelombang banjir. Sekitar seratus meter lebih sudah dilewati dengan selamat, tetapi ketika belokan tajam perahu rakitan itu menerjang dan menghantap tebing curam.
Kami bertiga terpisah satu dengan lainnya. Batang pisang yang dirakit dengan rapi itu bercerai-berai. Saya sendiri terlepas dari batang pisang dan diseret air beberapa lama. Pusaran air menyeret lebih dalam, terasa beberapa kali ingin mendongak ke atas agar bisa bernapas, tetapi belum juga berhasil dan nyaris saja nyawa melayang. Cahaya kematian mulai tampak di depan, tetapi entah kenapa saat kali terakhir dengan tenaga tersisa ingin menampakkan kepala langsung berhasil.
Saya bisa bernapas lega dan langsung menangis dengan memuncratkan air di mulut dan hidung. Dua teman saya sejak tadi menunggu dan mencari dengan wajah penuh kuatir. Mereka dengan gembira menyambut saya yang keluar dengan lemas. Kebetulan H Abdullah orang tua yang lewat di lokasi itu langsung menggendong dan membalikan badan saya yang masih sempoyongan karena dada terasa terhimpit karena lama digiring dalam pusaran arus banjir.
Untung Tuhan masih memberikan jatah hidup buat saya. Air yang sempat diteguk keluar semua hingga napas yang masih terasa terhimpit sedikit demi sedikit mulai terasa lega.
Kejadian itu bukan membuat saya dan teman kapok, tetapi justru lebih berani lagi menantang arus yang lebih deras lagi. Karena keberanian itu, kadang kala beberapa warga yang terperangkap banjir bisa diselamatkan. Kesukaan mandi saat banjir tetap dilakoni hingga kelas III SMP. Namun, kesukaan masa kecil tidak dihiraukan orang tua. Bahkan, ada tradisi di kampung saya, ketika mendadak ada banjir tanpa terlihat hujan sebelumnya, maka beberapa bocah yang sempat mendengar informasi itu langsung berlari menuju banjir, berebutan meneguk air bah di ujung banjir yang menerjang. Konon, kata orang tua dulu siapa yang berani meminum air itu akan berani dan cepat pintar di sekolah. Saya dan teman-teman sudah berkali-kali meneguk air bah itu. Bahkan, ada yang diseret banjir hingga ratusan meter.
Bukan hanya itu, bocah-bocah kecil tampak berani mendatangi tebing curam untuk dijadikan media terjun bebas saat air tenang atau banjir. Melompat berbarengan sekaligus berebut kekuasaan di lokasi itu. Siapa yang bertahan lama dan tidak terjatuh dianggap yang lebih kuat. Ada yang berani mendekat langsung dijatuhkan.
Kadang kala saat melompat ada yang keinjak teman, tetapi karena dalam air tidak terasa sakitnya. Pernah beberapa kali teman ada terpelanting dan mengenai tebing hingga dagu dan kepala robek beberapa senti. Bukan, itu saja ada juga yang terjun tak muncul lagi dan meninggal.
Kejadian seperti ini sudah beberapa kali menelan korban, beberapa tahun lalu meninggal tiga orang. Bahkan, yang menyelamatkan ikut tewas digiring pusaran air yang membuat orang yang terjun sulit keluar dari pusarat air hingga meninggal. Namun, harus diakui kehadiran banjir bagi anak desa adalah kebahagiaan tersendiri. Mereka bisa mandi dengan sepuasnya meski risikonya tetap ada. Namun, anak-anak kampung meski kerap terjadi kematian tidak menciutkan nyali anak-anak untuk bermandi ria. (AJI)
Mungkin ini pembelajaran agar anak mendapatkan ilmu alam, bersenda gurau dengan banjir. Karena kelak anak-anak mereka diharapkan kuat dan mampu mengarungi hidup dalam berbagai ragam banjir besar kehidupan ini.
Maka tidak salah jika orang berkata bahwa dunia anak adalah dunia bermain, dunia yang penuh spontanitas dan menyenangkan. Berani mencoba-coba sesuatu meski berisiko meregang nyawa. Maka bukanlah sifat dasar anak-anak jika tidak suka bermain dengan teman-temannya dan bermanja-manja dengan alam sekitarnya.
Maka tidak pelak, jika banyak peristiwa tragis menimpa anak-anak dan bocah kecil karena mereka suka berbuat nekat menantang maut, seperti bermandi ria saat banjir tiba. Mereka berani terjun di tengah arus deras banjir pada musim hujan, kemudian menghilang dan ditemukan tewas mengenaskan. Kalau kejadian seperti itu, orang tua hanya bisa mengelus dada, tak kuasa menahan sedih karena anak kesayangannya tewas terseret banjir.
Saya punya kenangan pahit masa kecil yang sulit dilupakan. Masa kecil yang ceria, indah, menyenangkan, sekaligus gagah berani menghadapi risiko. Bayangkan, saat bersama teman-teman sebaya seusia 10-13 tahun SD/SMP berani menantang banjir, menyebrang dan suka merakit batang pisang dengan menusukan tiga hingga empat ranting kayu pada beberapa batang pisang untuk dijadikan perahu.
Perahu rakitan itu dapat dinaiki dua hingga tiga orang dan siap menantang terjangan arus banjir. Layaknya, seperti penggiat olahraga arum jeram. Biasanya bocah kecil memilih bermandi ria saat banjir tidak terlalu besar dan juga tidak terlalu kecil, tetapi cukup menantang.
Saya dan dua teman masing-masing bernama, Hamid dan Syarif, menumpangi perahu yang terakit dari batang pisang, menikmati gelombang banjir. Sekitar seratus meter lebih sudah dilewati dengan selamat, tetapi ketika belokan tajam perahu rakitan itu menerjang dan menghantap tebing curam.
Kami bertiga terpisah satu dengan lainnya. Batang pisang yang dirakit dengan rapi itu bercerai-berai. Saya sendiri terlepas dari batang pisang dan diseret air beberapa lama. Pusaran air menyeret lebih dalam, terasa beberapa kali ingin mendongak ke atas agar bisa bernapas, tetapi belum juga berhasil dan nyaris saja nyawa melayang. Cahaya kematian mulai tampak di depan, tetapi entah kenapa saat kali terakhir dengan tenaga tersisa ingin menampakkan kepala langsung berhasil.
Saya bisa bernapas lega dan langsung menangis dengan memuncratkan air di mulut dan hidung. Dua teman saya sejak tadi menunggu dan mencari dengan wajah penuh kuatir. Mereka dengan gembira menyambut saya yang keluar dengan lemas. Kebetulan H Abdullah orang tua yang lewat di lokasi itu langsung menggendong dan membalikan badan saya yang masih sempoyongan karena dada terasa terhimpit karena lama digiring dalam pusaran arus banjir.
Untung Tuhan masih memberikan jatah hidup buat saya. Air yang sempat diteguk keluar semua hingga napas yang masih terasa terhimpit sedikit demi sedikit mulai terasa lega.
Kejadian itu bukan membuat saya dan teman kapok, tetapi justru lebih berani lagi menantang arus yang lebih deras lagi. Karena keberanian itu, kadang kala beberapa warga yang terperangkap banjir bisa diselamatkan. Kesukaan mandi saat banjir tetap dilakoni hingga kelas III SMP. Namun, kesukaan masa kecil tidak dihiraukan orang tua. Bahkan, ada tradisi di kampung saya, ketika mendadak ada banjir tanpa terlihat hujan sebelumnya, maka beberapa bocah yang sempat mendengar informasi itu langsung berlari menuju banjir, berebutan meneguk air bah di ujung banjir yang menerjang. Konon, kata orang tua dulu siapa yang berani meminum air itu akan berani dan cepat pintar di sekolah. Saya dan teman-teman sudah berkali-kali meneguk air bah itu. Bahkan, ada yang diseret banjir hingga ratusan meter.
Bukan hanya itu, bocah-bocah kecil tampak berani mendatangi tebing curam untuk dijadikan media terjun bebas saat air tenang atau banjir. Melompat berbarengan sekaligus berebut kekuasaan di lokasi itu. Siapa yang bertahan lama dan tidak terjatuh dianggap yang lebih kuat. Ada yang berani mendekat langsung dijatuhkan.
Kadang kala saat melompat ada yang keinjak teman, tetapi karena dalam air tidak terasa sakitnya. Pernah beberapa kali teman ada terpelanting dan mengenai tebing hingga dagu dan kepala robek beberapa senti. Bukan, itu saja ada juga yang terjun tak muncul lagi dan meninggal.
Kejadian seperti ini sudah beberapa kali menelan korban, beberapa tahun lalu meninggal tiga orang. Bahkan, yang menyelamatkan ikut tewas digiring pusaran air yang membuat orang yang terjun sulit keluar dari pusarat air hingga meninggal. Namun, harus diakui kehadiran banjir bagi anak desa adalah kebahagiaan tersendiri. Mereka bisa mandi dengan sepuasnya meski risikonya tetap ada. Namun, anak-anak kampung meski kerap terjadi kematian tidak menciutkan nyali anak-anak untuk bermandi ria. (AJI)
0 komentar:
Posting Komentar