KM. LENGGE WAWO,- Sebuah pepatah kuno mengatakan ‘’sebuah gua
apabila memiliki pintu kayu,tidak lagi disebut gua tetapi sebuah rumah”,dari
pepatah kuno diatas dapat kita simpulkan bahwa sebuah sejarah dan budaya
apabila telah dimasuki tatanan dan kebiasaan baru,tidak bisa lagi kita sebut
sejarah atau sebuah budaya. Sejarah menjadi cerita/dongeng, dan budaya menjadi
simbolisme untuk menghibur.
Kecamatan Wawo adalah sebuah
peradaban dan juga sebuah budaya hidup dengan berbagai “harta karun’’ yang
memang harus tersimpan. Wawo oleh sebagian kalangan yang merasa diri
‘budayawan’ disimbolkan dengan uma lengge, dan memang menjadi kebanggaan masyarakatnya,
sebuah bangunan sisa peradaban lama yang terus digunakan dengan berbagai
keunikan dan cerita yang tumbuh bersamanya.
Uma lengge wawo bukanlah sebuah
simbol, uma lengge adalah jiwa untuk masyarakatnya. Sebuah bangunan yang secara
tersirat dan tersurat menjadi sebuah analogi untuk masyarakatnya, sebuah
bangunan yang tidak tersentuh budaya dari luar baik secara fisik bangunannya
maupun kebiasaan yang melekat di dalamnya. Sekitar tahun 2009 pernah terjadi
renovasi besar besaran untuk uma lengge, uma lengge kehilangan jiwa, sebuah
bangunan budaya asli wawo berubah menjadi sebuah bangunan berbentuk asing yang
dibawa oleh perenovasinya.
Berdasarkan kejadian itu akhirnya
masyarakat dan para pegiat budaya wawo yang tidak ingin kehilangan identitas
dan originalitasnya menyatakan bahwa Uma lengge tidak membutuhkan ahli ahli
renovasi dari luar tapi membutuhkan pengayom dari dalam,bantuan bantuan untuk
perbaikan yang sama sekali tidak berguna lengge, lengge tidak membutuhkan uang
yang mengalir dari kantong yang satu ke kantung yang lainnya dan akhirnya yang
‘sampai’ hanya recehannya saja, uma lengge memiliki jiwa, yang melekat di
masyarakat wawo, sejak kejadian itu akhirnya disepakati bahwa tiap tahunnya
masyarakat mengadakan acara ‘kabua sama’, dimana para pemilik lengge dan
masyarakat wawo saling bahu membahu untuk memperbaiki apabila sudah ada
bangunan yang telah rusak (konteksnya adalah rusak yang sudah harus
diperbaiki). Sehingga sangat bodoh, ketika sekelompok orang luar yang memang
tidak tahu apa-apa, datang foto foto, duduk duduk dan dengan seenaknya
menyatakan bahwa uma lengge butuh perbaikan, butuh bantuan rehab dan lainnya,
sebuah hal yang lucu.
Originalitas uma lengge memiliki
filosofi tersendiri bagi masyarakatnya untuk menjalani kehidupannya, masyarakat wawo tetap mempertahankan
originalitas budaya religiusnya, budaya keseniannya dan budaya ’ hau ade’ nya,
dimanapun mereka berpijak, disini kita tidak akan menjumpai kejadian kejadian
yang dibawa pengaruh luar, pemuda pemuda lengge terbebas dari pengaruh negatif,
konflik horizontal, pencurian, perampokan, obat obatan, dan hal semacamnya akan
terdengar aneh di kecamatan wawo, sehingga wajar apabila wawo menyandang nama
‘WAWO’ dan mendapat penghargaan sebagai salah satu dari tiga daerah teraman se
indonesia.
Dalam hal budaya seni, budaya
seni kecamatan wawo tetap terjaga, ntumbu,sagele,mpaa manca,kereku kandei dan
berbagai budaya lainnya tetap asli, tetap asli karena budaya wawo adalah budaya
yang melekat dijiwa masyarakatnya, bukan budaya yang dibuat dan dilatih
otodidak ketika menghadapi lomba dan acara acara resmi atau kedatangan tamu
penting, ketika acara khitan dan semacamnya mpaa manca akan di adakan beberapa
hari tampa jeda,ketika masyarakat wawo akan mengadakan acara adat, kareku
kandei adalah salah satu bentuk ‘undangan’ untuk warga lainnya, begitupun juga
dengan ntumbu,bukan budaya otodidak yang dilatih ketika mendapat bantuan ini
dan itu. Regenerasi budaya juga tidak dikesampingkan, Wawo memiliki wadah
berkesenian yang akan tetap meregenerasi budaya seni wawo untuk generasi
selanjutnya, sanggar Doro ntori dengan ntumbunya, sanggar Pajuri dan sanggar Oi
Wobo meregenerasi mpaa manca,buju kadanda, mpaa silu dan gendanya. Tetap eksis
dalam kesederhanaan.
Menikmati sebuah tarian buatan
baru, dengan berbagai gerakan yang yang mencatut dan mencampur baurkan gerakan
asli dengan gerakan tari dansa salsa atau waltz yang justru menghilangkan
identitas aslinya, atau menikmati suara kareku kandei yang dilatih otodidak
ketika menghadapi sebuah event, sehingga tidak heran suara yang dikeluarkan
oleh kandei lebih mirip suara drum drum modern. Apakah ini yang anda sebut budaya??
KM. LENGGE WAWO.
0 komentar:
Posting Komentar