Kampung Media Lengge Wawo, Sekretariat: Jalan Lintas Bima - Sape Km.17 Kompleks Lapangan Umum Desa Maria Utara Kecamatan Wawo Kabupaten Bima, Telepon: 0374-7000447. Bagi yang ingin mengirim Tulisan Berita atau Artikel hubungi Nomor HP: 081803884629/085338436666

Jumat, 17 November 2017

Melirik Proses Muna Di Seputaran Uma Lengge Wawo


KM LENGGE,- Berbicara Bima, maka semua orang akan tergambar tentang aneka kebudayaan, seni tarian, pakian adat,  dan aneka kulinernya seperti Madu Bima atau Susu Kuda Liar yang cukup dikenal di Indonesia. Namun kali ini saya mengupas tentang pakian budaya yang tetap di lestarikan dari jaman ke jaman oleh penduduk Desa Maria yang bermukim di sekitaran Situs Budaya Uma Lengge.


Salahsatu kain tenun ikat yang menjadi aksesoris wajib yang digunakan oleh masyarakat jaman dulu terutama ibu-ibu maupun anak gadis yaitu Tembe nggoli (Sarung Tenun Nggoli) yang digunakan untuk Rimpu (Menutup Aurat semacam Jilbab), untuk sarung, syal, bahan untuk baju, selendang, ikat kepala, dan ikat pinggang, yang dibuat secara tradisonal dengan cara Muna (Menenun)

Menenun adalah proses membuat sehelai kain dengan cara Muna (Bahasa Bima) (Bahasa Indonesia Tenun). Proses Muna (Tenun) dengan pembuatan kain tenun ini biasa dikenal dengan proses tenun ATBM (alat tenun bukan mesin). Pengerjaan tenun dilakukan secara manual oleh ibu-ibu, gadis-gadis atau para pengrajin tenun.

Kain tenunan merupakan kain khas Bima yang di buat oleh tangan-tangan trampil dari para wanita dan gadis Bima yang tentunya memiliki keindahan corak dan warna yang memukau hati. Proses pembuatan yang sangat alami menghasilkan kain yang lembut dan nyaman untuk dipakai.

Bagaimana Masyarakat Desa Maria yang bermukim di seputaran Uma Lengge ini melestarikan pembuatan Tembe Nggoli (Sarung Nggoli) dengan cara Muna (Menenun). Muna adalah sebuah sebuah proses pembuatan Tembe (Sarung) menggunakan alat tradisional, di Desa Maria pada umumya dan di Kecamatan Wawo serta Bima pada khusunya.

Memang  kalau di lihat dan mendengar cerita orang tua dan sesepuh adat di Desa Maria bahwa Muna (Menenun) sudah ada sejak lama, namun saat sekarang ini popularitas masyarakat yang memiliki Alat Tenun (Muna) sudah semakin langka. Kalau dibanding dengan era jaman Janeli saat Bima dipimpin oleh Raja atau kesultanan,  dulu masyarakat desa Maria memili Muna  (Alat Tenun) menjadi alat tradisional yang wajib ada disetiap rumah.

Pada era kesultanan kain tenun mbojo adalah produk budaya yang penting bagi masyarakat Bima dan merupakan pakaian sehari-hari. Terdapat peraturan adat bahwa setiap wanita yang memasuki usia remaja harus sudah terampil menenun kain mbojo yang akan dikenakannya sendiri atau untuk diperjual belikan sebagai salah satu sumber mata pencaharian wanita Bima. Konon, kain tenun mbojo juga menjadi semacam pakaian wajib yang harus dikenakan wanita muslim Bima saat keluar rumah yang disebut Rimpu.

Yang menjadi pertanyaan kemudian, kenapa alat Muna (Menenun) harus ada disetiap rumh bagi masyarakat di Desa Maria dulu?. Ternyata Muna (Menenun) merupakan keahlian wajib yang harus di miliki oleh setiap wanita yang tumbuh menjadi seorang gadis di Maria. Di era itu Wanita yang ingin menikah atau dilamar oleh lelaki harus sudah bisa menenun (Muna) selembar Tembe Nggoli (Sarung Tenun) sebagai salahsatu persyaratannya.

wanita yang siap untuk dikawinkan maka dia terlebih dahulu harus mampu menghasilkan kain tenunan yang bagus, dan mahir dalam menenun serta memiliki peralatan tenun yang bagus pula. jika seorang pria ingin mengenal dan meminang gadis, cukup dikenal dikala gadis melakukan kegiatan menenun , dengan mendengar lantunan indah bunyi alat tenun yang dimainkan oleh sang gadis, sehingga bisa disimpulkan bahwa sang gadis telah matang dijadikan istri. Hasil tenunan berupa sarung atau Tembe Nggoli dijadikan sebagai alat perkenalan keduanya walaupun belum pernah berjumpa.

Proses Muna (Menenun) tenunan tradisional dengan cara gendogan yang pengoperasiannya dilakukan dengan dipangku oleh si petenun sambil duduk selonjor. Muna atau alat tenun tersebut rata-rata diwarisi perempuan Desa Maria secara turun-temurun dari paling tidak dua generasi sebelumnya. Menenun merupakan aktivitas sampingan perempuan desa usai musim panen.

Heh, untung syarat untuk menikah itu tidak ada di jaman sekarang. Kalau tidak banyak gadis-gadis yang menjadi janda tua.  Salahsatu penenun asal Desa Maria, Hafsah (77) yang biasa di sapa Ina Sei yang masih menenun sampai sekarang, ditemui saat melakukan aktifitas Muna, bercerita muna (Menenun) sudah di lakoni sejak masih gadis. Orang Tua Ina Sei mewajibkan anak-anak gadisnya untuk belajar Muna (Tenun). Keahlian menennunini menurun ke anaknya karena diajari sebagai suatu kewajiban anak gadis. Hampir semua perempuan di kampungnya dulu bisa muna dan diwajibkan untuk belajar Muna.

Sambil mengayam dan memperbaiki benang saat diwawancarai Ina Sei melanjutkan ceritanya, “Muna (Menenun) pada dasarnya adalah sebuah proses seorang perempuan untuk dilihat pantas tidaknya berumatangga, dijaman dulu,” kata Ina Sei

Iya, karena sulitnya Muna (Menenun) akan melatih wanita untuk sabar dan teliti dalam membangun kehidupan keluarganya. Karena menurut Ina Sei wanita berperan penting mendidik anak, mengatur rumahtangga, karena suami dijaman itu tugas utamanya adalah mencari nafkah untuk kebutuhan anak dan istri.

Ina Sei merupakan salahsatu wanita paru bayah yang tetap melakukan aktifitas memproduksi Tembe Nggoli (Sarung Tenun Nggoli) sampai dengan sekarang. Di sekitaran kampung dekat dengan Uma Lengge masih ada sekitar 10 atau 15 rumah yang masih beraktifitas Muna (Menenun), namun itu dilakukan kalau ada pesanan dari masyarakat atau pemerintah atau ada acara berupa event-event.

Sehingga aktifitas menenun di sudah bukan menjadi aktifitas harian bagi sebagian masyarakat desa Maria terutama gadis atau ibu-ibu sekarang ini. Muna (Menenun) hanya dilakukan oleh sebagian ibu-ibu yang tetap menpertahankan dan melestarikan warisan Muna ini sebagia tradisi yang harus tetap dilestarikan secara turun temurun kepada generasi ke generasi seperti Ina Sei dan anak cucunya.

Di lingkungan masyarakat desa Maria yang syarat dengan tradisi Mantoi (Tetap Pertahankan Kebiasaan Lama) masih ada beberapa generasi yang melestarikan Muna. Kalau tadi Ada Ina Sei, masih ada wanita-wanita tangguh lainya, satu diantaranya ada lagi Ibu Maemunah biasa disapa Ina Meneh.

Saat dikunjungi di rumahnya, tampak alat Muna ina Meneh bergelatak tertata rapi. Tidak ada aktifitas memproduksi atau menenun (Muna) Tembe Nggoli beberapa bulan terakhir. Menurut Ina Meneh Muna hanya mereka lakukan ketika ada pesanan. “Biasanya akau ada kegiatan Pemerintah, ada tamu dari luar daerah pasti akan dipesan 2 atau 3 bulan sebelum acaranya,” tutur Ina Meneh.

Ina Meneh menjelaskan bahwa, proses Munah atau Menenun dalam pembuatan Tembe Nggoli untuk 1 lembar memerlukan waktu sekitar 5-6 Hari. Semua perlengkapan Alat dan bahan harus disiapkan. Menyiapkan Motif yang menjadi pilihan pemesan, jenis benang dan kafan.

Menurut Ina Meneh kalau jaman dulu, kita menyiapkan benang dan kafan dari hasil olahan di kebun sendiri di lading atau di pegunungan. Misalnya dari Kapas yang ditanam sendiri dan di olah sendiri dari cara tradisional dan bahan alami, sehingga Tembe Nggoli yang di hasilkan berkulaitas bagus, kuat Indah dan halus.

Disamping itu untuk menghasilkan kain yang indah, lembut dan nyaman ketika dipakai, mengunakan pilihan benang yang berkualitas dengan proses pembuatan warna benang yang khas itu sendiri dipilih dari bahan- bahan alami seperti daun tarum, kulit akar mengkudu, kulit pohon loba, kapur sirih dan gambir. Unsur yang memikat dalam teknologi yang sederhana (Tradisional) di Bima, bukan saja terletak pada keanekaragaman coraknya tapi lebih pada perpaduan warna yang masih mengunakan bahan bahan alami.

Bahan-bahan alami tersebut misalnya warna biru muda, bahan yang di gunakan adalah daun tarum, kapur sirih, abu dan buah kemiri. Warna biru tua Bahan untuk membuat warna biru tua sama dengan membuat warna biru muda. Warna hitam Proses pembuatan warna hitam pada benang merupakan kelanjutan dari warna biru muda dan biru tua. Warna coklat dan Warna merah bahan dasar yang digunakan adalah kulit akar mengkudu, kulit pohon loba yang kering juga ada yang menggunakan buah sirih dan gambir. Warna kuning  Bahan dasar tradisional untuk memberi warna kuning pada benang tenun adalah kunyit jenis kayu yang menurut istilah disetempat disebut kayu kuning, daun pepaya tua yang berwarna kuning.


Salahsatu hasil dari Muna (Tenunan) adalah Cara pembuatan sarung (tembe nggoli) khas bima.  Proses pembuatan Tembe Nggoli dari cara Muna yang di lakukan oleh ibu-ibu atau pengrajin di desa Maria  adalah menyediakan bahan berupa benang dan kafan, menggulung benang pada seruas bambu menggunakan alat sederhana. Benang yang di gulung tadi kemudian dililitkan pada sebuah benda yang dirancang khusus seperti garpu berupa Kayu.
Setelah lititanya selesai baru ujung-ujung benang tadi di selipkan ke sisir (cau) serta alat- alat lain, kemudian benang-benang yang sudah di pasang tadi di tarik lurus sekencang-kencangnya untuk mengetahui apakah ada benang yang salah ataupun dimasukkan ke dalam sisir tadi setelah itu benang itu digulung dengan rapi dan siap di tenun.
Banyak sekali pilihan motif kain tenun di daerah Bima. Kain Tenun Mbojo (Bima) memiliki beragam motif dan warna. Model kain tenun Mbojo yang cukup tenar kini adalah yang memadukan lebih dari tiga warna dan ditenun membentuk gambar zig-zag. Kain ini disebut oleh orang asli Bima sebagai kain yang cocok dipakai di segala cuaca, baik cuaca panas maupun dingin.

Tembe Nggoli , sarung tenun tangan khas Bima yang dibuat dari benang khusus buatan pabrik yang disebut dengan Kafa Nggoli yang memiliki warna-warni yang cerah dan bermotif khas sarung tenun tangan. Keistimewaan Tembe Nggoli, terasa hangat, halus dan lembut, tidak mudah kusut, warna cemerlang lebih tahan lama. Tembe Nggoli sudah diproduksi dalam berbagai macam corak dan motif yang dipakai oleh masyarakat Bima sehari-hari.

Kalau ingin membeli oleh-oleh khas kecamatan Wawo berupa kain tenun ikat, anda bisa lansung ke Kecamatan Wawo Kabupaten Bima. Menuju Wawo dari terminal Dara Kota Bima  kurang lebih sejauh 15 KM, dapat ditempuh dengan bis sekitar 1 Jam. Kalau jarak 15 KM dari Kota Bima dengan mengendarai Kendaraan Pribadi hanya memakan waktu 30-45 Menit. Ketika memasuki daerah puncak Wawo di tepi jalan sekitar samping kiri Balai Desa Maria anda bisa berhenti dan menanyakan kepada masyarakat setempat pengrajin Tenun Ikat di Desa Maria sekitar Uma Lengge.
Harga sebuah sarung ( tembe nggoli ) sangat bermacam-macam tergantung motif dan corak pembuatan sarung itu sendiri makin sulit dan makin bagus sebuah sarung itu maka semakin mahal pula harga.
Sarung Nggoli dengan motig garis-garis berwarna mencolok misalnya, Selembar kain tenun ukuran lebar 60 sentimeter panjang 3 meter harganya antara Rp. 250.000-300.000,-/buah. Kalau motif berbunga dengan denga aneka ragam corak dan warna harganya bisa dihargai dengan Rp.500.000,- hingga Rp.1.000.000,-. Jadi tergantung motif dan coraknya.
Dalam menenun Tembe Nggolo  atau pembuatan sarung Nggoli dapat di minta bergai bentuk yang di inginkan karna mereka juga dapat membuat sebuah sarung sesuai keinginan pembelinya atau pesanan pembeli.
Tenunan Bima memiliki ragam yang khas, berupa motif hiasan motif bunga Samobo, hiasan motif Satako (bunga sekuntum) , hiasan Bunga Nenas (Bunga Aruna)dan Bunga Kakando (Rebung).

Ragam dan motif dari corak bunga inipun memiliki filosofi, Bunga Samobo bermakna sebagai mahluk sosial manusia selain bermanfaat bagi dirinya, juga harus bermanfaat bagi orang lain, laksana sekuntum bunga yang memberikan aroma harum bagi lingkungannya.

Sementara Bunga Satako sebagai simbol kehidupan keluarga yang mampu mewujudkan kebahagiaan bagi anggota keluarga dan masyarakat. Bagaikan setangkai bunga yang selalu menebar keharuman bagi lingkungannya.

Bunga Nenas terdiri dari 99 sisik (helai) merupakan simbol dari 99 sifat utama Allah yang wajib dipedomani dan diteladani oleh manusia dalam menjalankan kehidupan agar terwujud kehidupan bahagia dunia dan akhirat.

Sedangkan Bunga Kakando mengandung makna hidup yang penuh dinamika dan ragam kehidupan  yang mesti jalani dengan penuh semangat dan hati-hati dalam kesehariannya.

Disamping mengenal motif bunga, tenunan Bima juga mengenal motif geometri seperti Gari(garis), Nggusu Tolu atau Pado Tolu( Segitiga), Nggusu Upa (Segi empat, Pado Waji (Jajaran Genjang), serta Nggusu Waru ( Segi Delapan ).

Motif Gari(Garis) mengandung makna bahwa manusia harus bersikap jujur dan tegas dalam melaksanakan tugas, seperti lurusnya garis.

Motif Nggusu Upa atau segi empat merupakan simbol kebersamaan dengan tetangga dan kerabat.

Motif Pado Waji hampir sama maknanya dengan Nggusu Tolu, tetapi selain mangakui kekuasaan Allah juga harus mengakui kekuasaan pemimpin yang dilukiskan dengan dua sudut tumpul bagian kiri kanannya.


Sedangkan Nggusu Waru, melambangkan seorang pemimpin  yang wajib memiliki delapan persyaratan : Beriman Dan Bertaqwa, Na Mboto Ilmu Ro Bae Ade (Memiliki ilmu dan pengetahuan yang luas), Loa Ra tupa (Cerdas Dan Terampil), Taho Nggahi Ro Eli (Bertutur yang halus dan sopan), Taho Ruku Ro Rawi (Bertingkah Laku Sopan dan Santun), Londo Ro Dou ma Taho (Berasal Dari Keturunan Yang Baik), Hidi Ro Tahona ade ro lokona (Sehat Jasmani Dan rohani), Mori Ra Woko (Mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari).


Ini adalah salahsatu dari sekian banyak bentuk budaya khas Nusantara adalah ragam tenunan.  Kain tenun Bima (Mbojo), merupakan kain tenun khas asal daerah Bima yang menjadi pilihan yang wajib anda miliki.



Ayo….. Berkunjung Ke Wawo, salahsatu daerah di Bima NTB, untuk membeli oleh-oleh berupa Kain Tenun Ikat yang masih di proses dengan gaya tradisional yang lingkungannya masih hijau, alami dan melestarikan budaya Maja Labo Dahu di Dana Mbojo. ( Data Dari Berbagai Sumber).  (Efan)

0 komentar:

Posting Komentar