KM.Lengge Wawo,- dulu, beberapa tahun silam, ketika
musim musim bercocok tanam seperti saat ini adalah suatu yang paling menyenangkan bagi masyarakat kecamatan
wawo khususnya yang bermukim di Desa Maria baik yang sedang bekerja disawah dan
ladang mereka maupun yang tidak memiliki lahan untuk bercocok tanam untuk
berlama lama di disawah dan ladang disekitar perkampungan. Pasalnya, saat musim
tanam adalah musimnya para pegiat disawah maupun diladang untuk mengisi
kegiatan hiruk pikuk mereka dengan berbagai macam hiburan kesenian rakyat.
“
Biola ro gambo ele tolo nais Ompu?”(Biola atau gambus besok acara disawahnya
pak?), tidak ayal pertanyaan semacam ini saling dilontarkan oleh para
masyarakat ketika mengisi malam
sambil duduk beristirahat dan bercengkerama dengan keluarga dan tetangga di kadego rumah mereka setelah seharian
bekerja disawah dan ladang. Biola dan gambus adalah alat kesenian rakyat atau
lebih tepatnya kita sebut acara pengiring ketika melaksanakan kegiatan bercocok
tanam, indahnya alunan biola atau gambus tunggal (oleh masyarakat bima biasanya
disebut biola engke,karena tidak
diiringi alat music lain) diiringi oleh kapatu
mbojo mantoi dan nyanyian oleh seorang penyanyi sagele, suasana yang sungguh sangat melenakan, bahkan dulu apabila
ada diantara para pemuda pemudi yang yang bekerja disawah yang suka satu sama
lain atau istilah keren sekarang adalah cinlok,
nah kesempatan inilah yang mereka gunakan untuk mengungkapkan perasaan mereka,
saling berbalas pantun menggatikan peran penyanyi sagele yang sebenarnya.
Biasanya digoda lebih dulu oleh pihak laki – laki :
‘
aina ipi da ne’e nuntu watisi ca’u ndi
nonta,
‘ na ipiku oko na mbora kone kai ba aka,
Dan dibalas oleh pihak
perempuan :
‘
laina da nee ku ntanda ita ma doho ta
tando
‘ ntandasi ba mada, dahu adeku nifimu
mada ti iumu kone mudu.
Sekitar bulan Juli sampai maret biasanya hujan dengan
intensitas tinggi turun di daerah Kabupaten Bima, dan musim bercocok tanampun berlangsung
pada bulan bulan tersebut, para pegiat disawah dan ladang mulai mengolah tanah
tanah mereka, mereka berlomba dengan terbitnya matahari untuk berbondong bondong
kesawah dan ladang mereka, pada hari minggu dan hari libur para anak anak yang
biasanya bersekolahpun ikut membantu para orang tua mereka di ladang dan sawah
sawah mereka, saling bercengkerama dengan teman teman sebaya mereka. Akan
tetapi kebiasaan yang dulu sempat menjadi tradisi di daerah kita khususnya di
Desa Maria kecamatan Wawo sudah mulai hilang dan tergusur oleh kemajuan
peradaban, tidak terdengar lagi merdunya alunan biola dan rawa sagele disawah
dan ladang ladang, tidak terdengar lagi alunan suara biola engke yang menjadi
penyemangat bekerja para ABG, seperti ada sesuatu yang hilang!, yang terdengar
hanya lamat lamat “rahi dou’’ dari speaker handphone, biola sudah berevolusi
menjadi organ tunggal, para penyanyi sagele telah berganti menjadi seorang
biduan yang sexy dan erotis……
Disebuah pagi yang mendung beberapa hari yang lalu, saya menerima short message dari seorang teman yang berbunyi ‘’ watisi wara ndi
rawi tamai lampa lampa ara tolo ke gurue ‘’, sebuah pesan yang sangat singkat,
dan saya pun menjawabnya dengan segera ‘’OK, nanti siang jam 2’’.
Setelah menyelesaikan sebuah rutinitas saya pun bergegas mempersiapkan segala keperluan untuk
menghadiri undangan dari seorang sahabat tadi pagi, tepat pukul 02.00 wita saya
mulai start dari rumah dan sampai dilokasi sekitar pukul 02.15 wita,
senyuman hangat dari seorang sahabat lama menyambut kadatangan saya dan diapun mengajak saya ke acara yang katanya sudah dimulai tadi
pagi. Ketika hampir sampai ditempat yang dimaksud, saya mendengar lamat lamat
suara kapatu mbojo dengan iringan biola tunggal, saya terhenyak dan hampir tak
percaya antara rasa senang karena budaya yang hampir punah ternyata belum
hilang dari daerah kita tercinta, dan rasa takjub, takjub karena sudah hampir
beberapa tahun saya baru mendengar lagi suara rawa sagele yang dulu menjadi icon dan trade mark rasa wawo,
daerah yang penuh dengan budaya dan adat istiadat.
Begitu sampai ditempat 'acara', terlihat beberapa
orang dengan wajah kelelahan namun terlihat senang karena sesungging senyum tetap terlihat dibibir mereka, berbaris rapi dari kiri ke kanan mengikuti alur semacam ‘garis’
sambil menanam bibit bibit padi yang mereka bawa mengikuti irama dari biola yang mengalun merdu, gerakan merekapun seragam dan seirama. kapatu mbojo pun silih berganti dinyanyikan oleh para
pekerja untuk menambah semangat mereka. Suasana sedikit mendung
menambah eksotisnya suasana kala itu, benar benar suatu moment yang tidak akan terlupakan.
Kamera pocket yang saya siapkan pun tidak henti
hentinya merekam moment lanka tersebut, beberapa gambar tersave di memori card kamera dan saya yakini itu akan menjadi sebuah oleh - oleh berharga. Sampai sore hari saat matahari
sudah tinggal separuh di apit oleh sang bukit yang mengelilingi ladang barulah
acara selesai, dan kami pun kembali dengan wajah yang
ceria & sumringah.
Mudah mudahan kebiasaan ini tetap berlangsung sampai kapanpun
karena ini akan menjadi sebuah harta yang
tidak ternilai harganya bagi anak anak dan cucu cucu kita kelak, peradaban dan
gaya hidup modern sudah sewajarnya kita ikuti (dengan sewajarnya) sedangkan
adat, budaya dan istiadat kita jangan juga kita lupakan dan kita tinggalkan,
Kembangkan dan lestarikan budaya serta adat istiadat mulai dari diri kita
sendiri. (GALANK)
Selain di desa maria kec. Wawo..sagele juga bisa kita jumpai di beberapa daerah di kab.bima..biasanya daerah yg kebanyakan masyarakatx bermata pencaharian dgn cara bercocok tanam,c0nt0hnya di d0nggo,lambitu,dll..
BalasHapusツ
BalasHapusmantap mas postingnya
BalasHapusMantap..
BalasHapusmantap
BalasHapussagele adalah budaya yang mulai terlupakan dan harus kita lestarikan bersama...
BalasHapus