KM LENGGE WAWO,- Sebenarnya tulisan
ini hanya mengingatkan kita semua akan pentingnya mengingat sebuah catatan
perjalanan sebuah tonggak sejarah yang terlewati. Tanpa peristiwa dan poses
pergerakan anak-anak muda di masa itu, negara dan peran kita pemuda di saat ini
tidak akan seperti sekarang ini. Degradasi moral pemuda-pemudi saat ini sudah
terlampui dari rel perjuangan pemuda masa perjuangan.
Pemuda sebagai penerus,
pencetus, pelopor, agen perubahan kini semakin lama semakin pupus. Banyak
peristiwa yang dilakukan pemuda yang melenceng dari norma dan aturan, perkalian
pelajar, tawuran mahasiswa, narkoba, sek bebas, kini merebak di kalangan pemuda
dan remaja, hal ini yang perlu dan menjadi perhatian kita bersama. Entahformula
apa untuk meredam degradasi moral dan perilaku seperti sekarang ini.
Saat ini kita hanya mengisi dan melanjutkan apa yang
telah diperjuangkan dan dicita-cita oleh para pejuang, pencetus dan pelopor di
era mereka. Patut dan tidak berlebihan ketika kita memberi apresiasi kepada
mereka dengan sebutan Pahlawan. Era pergerakan pemuda saat itu dan terangkum
dalam sebuah perjuangan dengan proses panjang sehingga terlahirlah Janji yang
kita sebut “Sumpah Pemuda”. Sumpah
Pemuda adalah satu tonggak utama dalam sejarah pergerakan
kemerdekaan Indonesia.
Sebuah
Ikrar ini dianggap sebagai kristalisasi semangat untuk menegaskan cita-cita
berdirinya negara Indonesia."Sumpah
Pemuda" adalah keputusan Kongres
Pemuda Kedua yang diselenggarakan dua hari, 27-28 Oktober
1928 di Batavia
(Jakarta). Keputusan ini menegaskan cita-cita akan ada "tanah air
Indonesia", "bangsa Indonesia", dan "bahasa
Indonesia". Keputusan ini juga diharapkan menjadi asas bagi setiap
"perkumpulan kebangsaan Indonesia" dan agar "disiarkan dalam
segala surat kabar
dan dibacakan di
muka rapat perkumpulan-perkumpulan".
Secara berkesinambungan Semangat Sumpah Pemuda ini telah
mulai memicu adanya Nilai2 Nasionalisme yang akhirnya semangat itu “meledak”
dalam bentuk Proklamasi Indonesia yang dilakukan oleh SUKARNO – MOCH HATTA
dengan dukungan penuh dari para Pemuda Pejuang. Kalau dilihat dari sejarahnya maka memang harus diakui
bahwa para pemuda kita ini sudah dari dulu punya kesadaran Politik yang tinggi
dan mereka tak mau lagi dijajah oleh Belanda .
Mengingat tantangan kaum muda masa kini bukan lagi
terletak pada perang fisik mengangkat senjata melawan penjajah di medan perang.
Tetapi lebih kepada mematenkan prinsip-prinsip kebangsaan (nasionalisme) yang
telah diwariskan founding father Negara ini untuk diaplikasikan ke
dalam kehidupan nyata sehari-hari secara murni dan konsekuen.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah.
Karena sejarah merupakan saksi sekaligus bukti yang tak hanya menggambarkan
realitas semata, tapi juga menyuguhkan hikmah atau pelajaran hidup (Historia
Magistra Vitae) bagi manusia masa kini untuk membuat sejarah bagi manusia
masa depan. Maka, “Jas Merah!” tegas Bung Karno.
Historisitas Kongres Pemuda 1928—nama sebelum diubah
menjadi Sumpah Pemuda oleh Muhammad Yamin, pada 1930-an—yang diikrarkan oleh
Muhammad Yamin di rumah Sie Kong Liong, di Jalan Kramat Raya No 106, Jakarta
Pusat (sekarang Museum Sumpah Pemuda), layak dijadikan spirit
hidup bagi kaum muda “baru” untuk mengisi buah kemerdekaan dengan hal-hal
berbau positif.
Nilai spirit yang terkandung dalam Sumpah Pemuda, seperti:
persatuan dan kesatuan, tanggung jawab, kebersamaan dan semangat berbagi,
anti-intoleransi, anti-kolonialisme, anti-individualisme, dan lain-lain, sangat
relevan diterapkan saat ini. Tinggal bagaimana kaum muda “baru” menyipati
nilai-nilai tersebut secara benar, hingga melekat kuat dalam perangai kehidupan
sehari-hari. Dibutuhkan peran dan arahan kaum tua tentunya untuk merealisasikan
hal tersebut.
Namun nilai yang terkandung dalam Sumpah Pemuda kini
berangsur-angsur hilang terhempas paradoks kehidupan. Intelektual muda, Natalis
Pigay mengatakan, formulasi mengenai rasa satu bangsa, satu bahasa memang
gencar sekali diutarakan. Namun rasa nasionalisme yang muncul hanya sebatas
nasionalisme golongan, bukan nasionalisme kebangsaan (kebersamaan). Hanya ada
nasionalisme partai, nasionalisme Jawa; Sumatera; Sulawesi; dan lain-lain.
Kolektivitas rasa kebangsaan berskala nasional terus mengalami degradasi nilai
tatkala kaum muda terjangkiti penyakit “amnesia” sejarah. Yang tidak lain
disebabkan oleh efek modernisasi Barat. (Sumber : DIAN KURNIA, peminat
sejarah dan Sumber lainya)
Bisa kita lihat di berbagai sektor kehidupan ketika kaum
muda Indonesia terbelenggu perilaku amoral, seperti: tawuran—yang melibatkan
pelajar dan mahasiswa, brutalisme, free sex, penggunaan narkoba,
fenomena geng motor, hingga pada tingkat kriminalitas: pembunuhan. Pada ranah
politik, praktik korupsi yang dilakukan oleh kaum muda semakin lama nampak dan
sering terlihat saat ini.
Bung Karno pernah berpesan, “Dengan terbitnya matahari
kebangsaan Indonesia (Sumpah Pemuda) yang bulat dan bersatu, maka hilanglah hak
sejarah bagi ide provinsialisme, ide insularisme, dan ide federalisme. Maka
barangsiapa sekarang ini membangkitkan kembali ide kesukuan, ide kepulauan,
atau ide federalisme, ia adalah seperti orang yang menggali kubur dan mencoba
menghidupkan kembali tulang orang yang dikubur 30 tahun yang lampau.” (Pidato
Bung Karno di Sidang Pleno Konstituante, Bandung, 22 April 1959)
Ya, kondisi seperti sekarang memang penuh dengan potret
paradoks tatkala membicarakan kaum muda dalam tata kelola kehidupan berbangsa
dan bernegara. Persatuan dan kesatuan kaum muda yang dulu, pada zaman
pergerakan, pernah membahana di langit Indonesia, kini terkotak-kotak ke dalam
sangkar-sangkar kecil. Kaum muda Indonesia banyak terjebak oleh sangkar
modernisme Barat—yang mengesampingkan etika kebangsaan-kolektif, namun lebih
mementingkan azas egoisme dan individualisme ketimbang mempraktekkan azas
altruisme dalam kehidupan sosial.
Maka menjadi sangat penting bagi kaum tua untuk terus
memupuk dan mendorong kesadaran kaum muda “baru” agar memiliki keberanian untuk
rela berkorban demi kepentingan umum, bertanggung jawab terhadap peran dan
fungsi sosial, mampu berprestasi di bidang yang digeluti, serta memperlihatkan
totalitas pengabdian pada nusa dan bangsa, juga agama dengan prestasi-prestasi
gemilang. Itulah kiranya nilai-nilai Sumpah Pemuda 1928 yang akan
membangkitkan “emosi” kaum muda “baru” masa kini hingga menjadi tidak mungkin
jika sosok-sosok revolusioner seperti Sukarno, Moh Hatta, dan Sutan Syahrir
akan lahir kembali di zaman ini, dan akan melepaskan belenggu masalah yang
mendera bangsa dan Negara yang kita cintai ini. Semoga.
Sebuah catatan yang berindikasi kekesalan, kritis dan
solutif bagi masa depan pemuda. Kesadaran akan pentingnya peran pemuda dalam
pembangunan daerah mungkin perlu pendalaman sendiri bagi pemerintah. Dimana
pemuda adalah pelopor pembangunan, pemuda adalah garda terdepan dalam
memperjuangkan cita-cita bangsa, pemuda adalah pelaku agen perubahan(agent of
change) dan pemuda adalah generasi masa depan harapan bangsa yang didalamnya
termasuk harapan masa depan Kota Tomohon.
Jadi pada akhir tulisan ini saya inigin mengajak
teman-teman Pemuda dan Pemudi, bangkitlah wahai pemuda, jadilah yang terdepan
bukan terbelakang, jadilah kepala bukan ekor, jadilah pemain bukan penonton,
jadilah playmaker bukan troublemaker, jadilah calon pemimpin berkarakter untuk
masa depan. “Seribu orang tua hanya dapat bermimpi, satu pemuda dapat mengubah
indonesia”. Sesuai dengan moto pemerintah dan keinginan kita bersama “REVOLUSI
MENTAL”. Itu yang perlu kita lakukan saat ini bagi Pemuda dan Pemudi. (Efan)
0 komentar:
Posting Komentar