KM.LENGGE WAWO,-Saya pernah punya kenalan atau lebih tepatnya disebut sahabat yang
katanya berasal dari sebuah daerah bernama gedangan,di Sidoarjo jawa timur,
seorang bapak tua penjual bakwan
keliling dengan sepeda sepeda motor tua, yang sudah setahun belakangan tidak
pernah terlihat lagi.
Dulu hampir setiap hari ia lewat di depan sekolah tempat saya mengabdi,di salah satu SMP yang berada di desa Maria utara kecamatan Wawo. Kadang bapak tua ini sering berhenti berlama-lama di depan sekolah, sampai saya atau guru – guru lainnya keluar dan membeli bakwannya.
Saking seringnya bertemu, akhirnya kami menjadi sahabat. Kalau ditilik dari usianya, bapak tua ini kira – kira seumuran bapak saya. Karena sudah dekat dan terbiasa, saya bahkan beberapa kali mengunjungi rumah kontrakannya yang sangat sederhana di daerah melayu, Kota Bima.
Menilik kondisi rumahnya, penampilan dan usahanya, tampak kalau ia hidup dalam berbagai bentuk kesulitan. Rumah kontrakannya berdinding anyaman bambu, dengan genting kuno yang kecil ukurannya, serta lantai dari tanah tanpa ada tembok semen sama sekali. Jika musim hujan, selalu tiris, air masuk ke dalam rumahnya, dan membuat lantai rumahnya ditumbuhi rumput karena kerap tersiram air hujan. Di rumahnya tidak ada perabotan sama sekali. Hanya ada peralatan masak dan satu sepeda motor tua yang ia gunakan untuk jualan bakwan keliling Kota dan kabupaten Bima.
Yang sangat mengagumkan bagi saya, ia lebih sering bercerita tentang kebahagiaan hidupnya sebagai penjual bakwan. Bukan bercerita tentang kegetiran hidup yang dialami. Mungkin karena kegetiran itu sudah dirasakan setiap hari, maka menjadi tidak berasa lagi baginya. Yang lebih ia rasakan adalah kegembiraan, maka itu yang selalu diceritakan.
Ia selalu antusias menceritakan kegembiraan yang dirasakan ketika ada “orang-orang penting” membeli bakwannya, bahkan selalu mengulang cerita tentang seorang dokter di desa Maria kecamatan Wawo yang berlangganan membeli bakwannya.
“kebanyakan yang membeli bakwan saya itu orangnya bermobil. Mobil mereka bagus-bagus”, cerita sang bapak tua dengan wajah berbinar-binar saking bahagianya. Saya bayangkan, mereka yang punya mobil belum tentu sebahagia bapak tua itu. Namun bapak tua yang tidak punya mobil, justru merasakan kebahagiaan yang tidak didapatkan oleh para pemilik mobil.
Begitulah cara ia menikmati hidup. Barangkali ia ingin berpesan, hidup itu terlalu indah untuk dikesali. Nikmati saja semua problematika dalam kehidupan, agar kita selalu bahagia walau penuh dengan’keterbatasan’.(galank)
0 komentar:
Posting Komentar