KM. LENGGE WAWO,-
"Baba Khan!"
Buset! Copot ini jantung. Padahal, mata baru kupejamkan, lho. Beberapa detik yang lalu-lah. Tapi, secara tiba-tiba disertai suara lantang, anak SMU yang baru tiba di rumahnya itu meneriaki namaku. Nama panggilan 'khusus' dari anak-anak yang usianya jauh lebih muda dariku. Sekarang, sih, kualihkan menjadi nama pena. Ehem, hueks!
"Ada keluhan apa lagi?" tanyaku, mengucek-ucek mata. Sekalian membersihkan belek. Barangkali ada. Ha.
Hm, jangan salah sangka, ya. Aku bertanya seperti itu bukan berarti aku dokter, dukun, atau apa saja yang memiliki pelanggan. Aku bukan pekerja apa-apa. Tapi, hanyalah...
"Ini, kok, kartu 'mada' tarif sms-nya mahal," akuinya, memasang muka masam padaku. Seolah-olah akulah yang menentukan tarif yang katanya mahal itu.
"Berapa?"
"Seribu lima ratus."
"Ah, nggak percaya!" bantahku cuek. Yang benar saja. Hari 'gini tarif sms mahal? Zaman masih belum marak hp tidak sesadis itu tarif sms-nya.
"Kalau nggak percaya lihat saja ini," katanya, "boleh cek transaksi terakhir."
Tet-tet-tet-tet-tet. Wush!
Secepat kilat kulincahkan jemari yang memang akrab dengan 'keypad'. Secepat kilat pula hasilnya tertera di layar hp anak SMU itu.
Astaga! Aku kaget---lagi. Jantung, mana jantung?
"Hm, sini-sini," kataku, "baca ini!"
Ia mengindahkan. Menunduk. Lalu, mungkin matanya tertuju pada nilai Rp. 1.500. Makanya bilang, "Benar, kan?"
"Baca baik-baik."
"Ini sudah baik."
"Belum!" Aku mulai geram. Minuskah matanya?
Dibacanya lagi, "Biaya SM, eh, MMS terakhir Anda..."
"Nah."
"Ini bagaimana ceritanya?" tanyanya heboh, kaget tak percaya.
"Mana kutahu."
Oh, Android. Jangan masuk desa-lah. Kasihan anak SMU itu. Ia tak paham cara mengirim sms.
Keli, 30 Januari 2014, Baba Khan
Posted by Galank
Hm, jangan salah sangka, ya. Aku bertanya seperti itu bukan berarti aku dokter, dukun, atau apa saja yang memiliki pelanggan. Aku bukan pekerja apa-apa. Tapi, hanyalah...
"Ini, kok, kartu 'mada' tarif sms-nya mahal," akuinya, memasang muka masam padaku. Seolah-olah akulah yang menentukan tarif yang katanya mahal itu.
"Berapa?"
"Seribu lima ratus."
"Ah, nggak percaya!" bantahku cuek. Yang benar saja. Hari 'gini tarif sms mahal? Zaman masih belum marak hp tidak sesadis itu tarif sms-nya.
"Kalau nggak percaya lihat saja ini," katanya, "boleh cek transaksi terakhir."
Tet-tet-tet-tet-tet. Wush!
Secepat kilat kulincahkan jemari yang memang akrab dengan 'keypad'. Secepat kilat pula hasilnya tertera di layar hp anak SMU itu.
Astaga! Aku kaget---lagi. Jantung, mana jantung?
"Hm, sini-sini," kataku, "baca ini!"
Ia mengindahkan. Menunduk. Lalu, mungkin matanya tertuju pada nilai Rp. 1.500. Makanya bilang, "Benar, kan?"
"Baca baik-baik."
"Ini sudah baik."
"Belum!" Aku mulai geram. Minuskah matanya?
Dibacanya lagi, "Biaya SM, eh, MMS terakhir Anda..."
"Nah."
"Ini bagaimana ceritanya?" tanyanya heboh, kaget tak percaya.
"Mana kutahu."
Oh, Android. Jangan masuk desa-lah. Kasihan anak SMU itu. Ia tak paham cara mengirim sms.
Keli, 30 Januari 2014, Baba Khan
Posted by Galank
0 komentar:
Posting Komentar